Tidak perlu repot-repot untuk mendapatkan label ‘internasional’ cukup undang sejumlah dosen dan mahasiswa beda negara saja, kampus kita sudah pantas menyandang label ‘internasional’.
Tapi pertanyaannya apakah persepsi masyarakat akademik akan menerima begitu saja konsep ‘internationalization at home’ sementara kesan internasional yang ada di benak banyak ilmuwan adalah seorang peneliti pergi meneliti/bersekolah/mendapatkan grant ke luar negeri.

Minggu lalu penulis mengikuti acara ‘Intercultural Learning and Global Engagement’ yang diselenggarakan oleh International Network of Universities di Universitas Katolik Parahyangan 22-23 Maret 2019 di kota Bandung, Jawa Barat. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 50 peserta ini bertujuan pertama untuk memperkenalkan konsep pembelajaran lintas budaya bagi universitas-universitas yang sudah siap membangun ‘brand’ international. Kedua, ILGE menawarkan konsep global engagement yang merupakan inisiatif dari INU untuk bisa menjalin kerjasama dengan banyak universitas anggota.

Intercultural Learning sejatinya adalah sebuah kerangka kerja bagaimana kampus-kampus yang siap untuk mengglobal bersikap menghadapi banyaknya mahasiswa dan akademia asing di kampus. Banyaknya mahasiswa dan akademia asing terkadang berimplikasi terhadap bagaimana kampus menyikapi perbedaan budaya, tidak hanya dari sikap perilaku tapi juga terhadap selera makan dan cuaca suatu negara. Salah satu rekan saya, Cecilia dari Malmo University, Swedia mengatakan bahwa salah satu mahasiswanya pernah bunuh diri karena faktor depresi yang dihadapi. Salah satu depresi yang dihadapi adalah faktor perbedaan cuaca dan pergaulan di Swedia yang sangat berbeda dengan negara asal mahasiswa tersebut.
Sementara konsep ‘global engagement’ yang ditawarkan oleh INU adalah Internationalization at Home yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang penulis ajukan diatas. Internationalization at Home adalah suatu konsep dimana suatu kampus membuka ataupun menyelenggarakan banyak program yang melibatkan mahasiswa maupun akademia asing di kampus sendiri tanpa harus mengeluarkan banyak biaya untuk bisa ke luar negeri. Memang bisa dipahami bahwa banyaknya demand untuk bisa berjejaring dengan kampus-kampus asing tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, oleh karenanya Internationalization at Home adalah jawaban yang tepat dan terjangkau apabila suatu kampus ingin mendapatkan rekognisi internasional. Banyak lembaga-lembaga seperti ERASMUS+, DAAD, Swedish Institute menawarkan bantuan dana apabila suatu kampus tersebut siap menyelenggarakan event berskala internasional di kampus sendiri.

ILGE sejatinya merupakan serangkaian acara dari Annual High Level Meeting dari INU yang dihadiri oleh para delegasi dari empat negara asing seperti Jerman, Spanyol, Swedia, Inggris dan Amerika Serikat. INU (International Network of Universities) sendiri merupakan konsorsium universitas universitas di dunia yang memang concern pada peningkatan kapasitas anggotanya sehingga bisa mencapai standar internasional yang diharapkan. INU sendiri memang merupakan inisiatif untuk bisa menjalin kerjasama dengan banyak universitas anggota. Penulis sendiri sudah berkenalan dengan Philip dari Kingston University (Inggris), Cecilia dari Malmo University (Swedia) dan Stephanie dari Europa Universitat Viladria (Jerman).
Dari acara ini penulis berpendapat tidak ada salahnya menyebut label ‘international’ di kampus sendiri selama itu memang melibatkan banyak akademia asing. Sehingga menyelenggarakan ‘internationalization at home’ memang sudah suatu keharusan.
Penulis selaku perwakilan dari UMJ berpikir jikalau konsep internationalization at home sendiri sejatinya sudah banyak dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta. Tahun 2018 saja, fakultas yang menaungi penulis, Fakultas Agama Islam, sudah menyelenggarakan setidaknya lima kegiatan berskala internasional seperti International Conference on Islamic Studies, Learning Express, International Public Lecture – Bonn Universitat, International Public Lecture – US State Department, dan Open Academic Forum. Ini belum terhitung dengan fakultas-fakultas lain yang saya yakin banyak memiliki kegiatan berskala internasional.

Saya haqqul yaqin bahwa ‘Internationalization at Home’ adalah satu upaya yang bisa dilakukan dalam upaya UMJ untuk bisa mendapatkan rekognisi internasional. Tentu upaya ini akan semakin bergaung apabila ada political will dari pimpinan dan kerjasama yang erat antar civitas akademikanya. Seraya tidak lupa untuk terus menjaring kerjasama dengan banyak kampus dan institusi di luar negeri sebagai new frontiers dari pekerjaan rumah kita untuk memajukan kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Salam,
Saomi Rizqiyanto,
Koordinator Hubungan Lembaga Internasional
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Jakarta.