Mempertanyakan Kembali Solusi Dua Negara

Perhelatan KTT Luar Biasa OKI telah selesai dan menghasilkan satu resolusi penting yakni mendorong pembentukan Negara Palestina dengan mengadopsi ketentuan Two State Solution. Bagi penulis, resolusi hasil KTT yang dikenal dengan istilah Deklarasi Jakarta tersebut menyisakan satu ruang dialog yang perlu dirembug bersama, apakah ketentuan Two State Solution masih relevan disuarakan oleh Indonesia di kala banyak pihak pesimis dengan ketentuan tersebut.

Two State Solution adalah resolusi yang dikeluarkan oleh komisi bentukan Inggris yang dikepalai oleh Lord Peel pada tahun 1936 dalam menyikapi kondisi di Palestina yang pelik menyusul bentrokan hebat antara warga Yahudi dan Palestina. Komisi yang dikenal dengan nama Komisi Peel ini mempelajari akar masalah bentrokan yang terjadi di daerah mandat Inggris itu dan mengeluarkan kebijakan batasan wilayah bagi Israel dan Palestina. Hasil keputusan ini dikenal dengan istilah two state solution.

Solusi Dua Negara walaupun dipandang sebagai jalan tengah namun kerap kali gagal diimplementasikan. Pada awal penerapannya, resolusi ini ditolak oleh bangsa Arab dengan melancarkan perang ke Israel, seperti Perang Nakba (1948) Perang Enam Hari (1967) Intifada I (1987) dan Intifada II (2005). Dialog juga banyak dilakukan oleh komunitas internasional untuk meredam konflik Israel-Palestina dengan merujuk pada ketentuan two state solution seperti Konferensi Madrid (1991), Kesepakatan Oslo (1993), Pertemuan Camp David (2000) dan terakhir pembicaraan damai yang diinisiasi oleh John Kerry (2014). Walaupun perang dan banyak dialog dilakukan, solusi dua Negara terkesan jalan di tempat dan bahkan cenderung mengalami kemunduran.

Pesimis

Pesimisme kemampuan Indonesia dalam mengupayakan tercapainya kemerdekaan Palestina berdasarkan ketentuan solusi dua negara didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama adalah ketentuan two state solution ibarat cahaya lilin yang redup. Hasil riset terkini yang dikeluarkan oleh Pew Research Center (2014) mengindikasikan bahwa negara-negara yang terlibat konflik langsung dengan Israel, seakan ragu dengan ketentuan solusi dua Negara. Lebanon misalnya, hampir 79% warganya ragu dengan ketentuan tersebut, di teritori Palestina sendiri angka keraguannya mencapai 68% sedangkan di Israel pesimismenya mencapai 45%. Naiknya pesimisme akan two state solution didasarkan atas serentetan kegagalan yang terjadi sejak konferensi Madrid hingga sekarang. Amerika Serikat sendiri ibarat bebek lumpuh yang tidak bisa menciptakan perdamaian di Palestina. Wajar jika Jeffrey Goldberg, salah satu analis politik dari Bloomberg memplesetkan two state solution dengan istilah two state delusion.

Kedua, Indonesia bukanlah negara kuat yang mampu menekan komunitas internasional untuk mewujudkan solusi dua negara. Di kalangan OKI sendiri, posisi Indonesia tidaklah sekuat Arab Saudi yang mampu menekan dunia Arab dan komunitas dunia. Lihat saja aksi Arab Saudi dan negara Arab lain yang menutup keran minyak sehingga memaksa Amerika Serikat dan PBB mengadakan sidang darurat untuk memaksa Israel menarik pasukan dari daerah penjajahan. Indonesia juga bukan Iran yang memiliki jaringan Syiah yang militan di Timur Tengah. Iran memiliki Hizbullah di Lebanon, yang konon taktik dan kekuatan militernya membuat Israel kewalahan dengan kehadiran Hizbullah dan Iran. Belum lagi dari letak geografis, Indonesia teramat jauh dari lokasi konflik. Indonesia dari segi geografis, ideologis dan militer, belum mampu memimpin dunia Islam dan menekan komunitas internasional.

Terakhir, dalam mewujudkan two state solution, Indonesia belum bisa menjadi mediator atau penengah antara Israel dan Palestina. Mungkin untuk menjadi penengah antara Hamas dan Fatah bisa dilakukan, tapi two state solution tidak akan mungkin terwujud tanpa mengikutsertakan Israel. Pemerintah Indonesia selama ini tetap pada prinsipnya yakni menutup ruang diplomatik dengan Israel, bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi penengah antara Israel dan Palestina sementara Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Perancis pada tahun ini akan menggelar konferensi serupa untuk menjadi mediator konflik Israel dan Palestina, hal itu terwujud karena Perancis memiliki hubungan dengan Israel. Artinya apakah mungkin Indonesia kembali memikirkan wacana yang pernah terlontar dari mantan presiden Abdurrahman Wahid untuk membuka hubungan diplomasi dengan Israel.

Sebagai penutup, ketentuan two state solution yang kembali ditegaskan dalam KTT OKI di Jakarta bukan berarti tidak mungkin dilaksanakan, hanya perlu sebuah terobosan yang luar biasa. Aksi yang hanya berupa seruan, kecaman dan dialog tidak akan pernah mewujudkan solusi dua negara. Indonesia bisa mewujudkan Solusi Dua Negara dengan menjadi mediator konflik Israel dan Palestina dengan cara yaitu tadi, membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tapi apa mungkin berani?

Saomi Rizqiyanto,                                                                           Peneliti Kajian Amerika Universitas Indonesia

Saomi Rizqiyanto

A scholars who also an enterpreneur. Graduate from University of Indonesia and Lecturer at State Islamic University Jakarta. A founder and CEO of Masamitra, an independent media consultant.