Menyaksikan matahari terbit di pantai berpasir putih, melihat perahu bermesin boat berlabuh, angin yang berhembus sejuk dengan pemandangan biru dan hijau laut yang jernih membuat diri ini melayang, apalagi bukit-bukit berpohon kelapa di pulau seberang, seperti tidak ingin pulang rasanya. Saat saya duduk di kafe dekat pantai, melihat aktifitas para turis asing alias bule berseliweran, kadang ada yang telanjang dada, kadang berswimsuit, mata saya terus menerus berkerling, jadi ini yang disebut Gili Trawangan, dan pantas semua orang menyukainya.
Kepergian saya ke Lombok sebelumnya tanpa dinyana-nyana dan tanpa mimpi. Mendadak mantan bos saya memerintahkan saya untuk terbang ke Lombok, menggantikan beliau yang tidak bisa hadir saat ada acara. Tadinya saya sempat ragu, apakah instruksi ini benar adanya atau tidak. Namun mengingat saya belum pernah dan menginginkan ke Gili Trawangan, saya pada akhirnya menyanggupi saja. Dan Voila, akhirnya jadilah saya jalan-jalan ke Lombok.
Saya pergi ke Lombok dalam rangka menghadiri International Conference on Quran and Hadist Studies yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak hanya itu saja, saya juga mempresentasikan paper yang saya tulis bersama dengan kolega saya. Acara ini di helat di Grand Palace Hotel, yang sangat dekat dengan Pantai Senggigi. Otomatis saya ketemu dengan banyak kolega saya dari UIN. Ada Ibu Nurhayati, Pak Hendra, Pak Viktor, Bu Megga dan Bu Hanifa, semuanya dari Fakultas Sains dan Teknologi.
Saya menggunakan Batik Air dari Jakarta pukul 8 pagi, kebayang seperti apa saya berangkat dari Apartemen, jam 5 pagi istri saya sudah menyiapkan sarapan dan kopi untuk di jalan. Saya dan rombongan mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Praya Lombok jam 11 siang, karena NTB dan Jakarta masuk ke dalam dimensi waktu yang berbeda, maka ada selisih 1 jam lebih awal di NTB (Lombok).

Seharusnya, saya langsung check in ke Hotel untuk mendapatkan kamar dan menghadiri Panel Session, namun berhubung ketua keompok kita, Bu Nurhayati mengajak untuk berkeliling Lombok dahulu sebelum datang ke acara, maka jadilah kita jalan-jalan di Lombok. I must say, Lombok tidak jauh berbeda dengan pulau Jawa pada umumnya, kontur tanahnya gersang karena musim kemarau dan panas. Tapi saya jarang mendapati pepohonan bambu di sini, saya lebih sering melihat pohon kelapa.
Lokasi pertama yang saya kunjungi adalah Dusun Suku Sasak Sade, kawasan terlindung untuk kebudayaan suku sasak. Maka saya bisa melihat struktur rumah yang sangat asli dengan suku sasak. Oh iya jangan aneh ya kalau tanah di rumah suku sasak ini terbuat dari kotoran sapi / kerbau. Namun anehnya tidak berbau. Dusun ini menghasilkan banyak kerajinan mulai dari kerajinan tangan seperti gelang, kalung, hingga kain tenun maupun songket yang sangat cantik. Pengrajinannya pun dilakukan dengan metode tangan. Sehingga sangat alami. Saya Cuma beli gelang karena beli kain memang direncanakan di akhir perjalanan.

Lokasi kedua adalah lokasi yang benar-benar baru di Lombok, yakni Pantai Kuta Mandalika. Dibangun atas inisiasi Presiden Jokowi untuk memacu Lombok sebagai pusat destinasi pariwisata baru selain Bali. Selain infrastruktur pantai yang disediakan, Jokowi kabarnya juga sedang mengembangkan race track, atau pacuan untuk balapan motor. Dengan kontur keras dan panas seperti Lombok, saya pikir ini akan menjadi hub baru di Lombok selain Senggigi. Jujur untuk dikatakan, Pantai Kuta Mandalika ini masih baru sehingga sangat perawan belum terjamah tangan-tangan nakal manusia, masih putih, hijau dan biru. Beberapa bule terlihat disini. Ada yang sedang bermesraan di pantai, ada yang mengendarai motor dsb.


Tidak jauh dari pantai Kuta Mandalika, ada hub yang menjadi favorit para bule, yakni Tanjung Aan, lokasinya yang tersembunyi membuat Tanjung Aan lokasi yang tepat untuk bermesaraan para bule. Sayangnya saya kesana saat matahari tepat di atas kepala, sangat terik, sehingga para Bule ini masih berleha-leha di kursi malasnya. Ada beberapa yang telihat memang sekadar untuk membuat kulit menjadi coklat.
Hari kedua saya melewatkan jalan-jalan karena mendadak tubuh saya di serang demam hebat. Saat seminar saya kedinginan sementara saat saya di kamar kepanasan. Dengan sangat terpaksa saya berfokus pada upaya pemulihan apalagi sore nanti saya harus presentasi. Saya dengan sangat terpaksa melewatkan berkunjung ke kota tua dan pantai senggigi. Walaupun di hari ketiga saya melihat kota tua dan Senggigi. Tapi hanya sekadar lewat dan melihat.

Lokasi terakhir dan menjadi impian saya selama ini, yakni Gili Trawangan. Salah satu destinasi utama para ekspatriat (untuk tidak mengatakan bule) yang ada di Indonesia. Lokasinya yang tersembunyi dari dunia luar, pantai berpasir putih sepanjang pulang, hijau biru laut sepanjang mata memandang. Ah… jadi tidak ingin pulang. Saya dan rombongan harus berkendara selama 2 jam dari pusat kota Lombok untuk mencapai dermaga yang berisi kapal-kapal bermotor boat. Saya dan rombongan harus menggunakan kapal tsb untuk menuju Gili Trawangan. Kira-kira biaya yang dihabiskan sekitar 700 ribu (return) untuk 7 orang termasuk driver. Waktu itu jam masih menunjukkan pukul 7 pagi, matahari belum garang. Sehingga sangat sejuk dan melihat aktifitas pantai yang mendadak melankolis.
Waktu tempuh dari dermaga hingga Gili Trawangan memakan waktu 30 menit. Begitu kapal ini mendekat, langsung saja mata ini dimanja dengan pemandangan pantai yang sangat eksotis, pantai berpasir putih dengan air laut yang biru jernih sehingga terumbu karang bisa terlihat dengan jelas. Selain pemandangan alam yang indah, mata ini juga dimanja dengan deretan kafe-kafe, hotel, villa yang semuanya berkelas internasional. Masing-masing kafe bertuliskan bahasa asing, mulai dari Inggris, Spain, France hingga Germany. Belum ada bahasa Mandarin dan Arab di sini.
Bisa dikatakan hampir mayoritas penghuni pulau ini adalah orang asing berkulit putih. Mereka memang berlibur di pulau ini, sehingga tidak asing kalau mata ini sering berkerling terhadap para bule ini yang terkadang bertelanjang dada sembari jogging. Ada yang bersepeda, ada yang berjalan berkeliling pulau. Ada yang berjemur dengan hanya swimsuit. Saya orang lokal yang sok barat dengan menggunakan kaca mata hitam dapat banyak keuntungan, soalnya menang banyak.


Ada yang tidak boleh dilewatkan oleh orang yang berkunjung ke Gili Trawangan. Objek wisata Ombak Sunset wajib di kunjungi karena kalau sedang matahari terbenam, nuansanya sangat romantis, apalagi kalau duduk di ayunan pantai, menambah nuansa romantis. Jadi bagi para newly wed, silakan datang ke Ombak Sunset, Gili Trawangan.
Saya pulang ke Jakarta tepat pukul 4 sore, setelah sebelumnya saya berburu oleh-oleh di Sasaku, pusat oleh-oleh di kota Lombok, kemudian saya sempat mampir ke pusat pengrajinan kain tenun dan membeli kain tenun untuk saya dan istri saya. Langkah kaki terasa ringan setelah saya membeli oleh-oleh walaupun hati masih berat ingin lebih lama di Gili Trawangan.
